Pemerintah
melalui Kementerian Kehutanan, sejak bulan lalu telah menyiapkan Sistem
Informasi Verifikasi Legalitas Kayu (SIVLK) sesuai perjanjian Asean-Uni Eropa
awal tahun ini. Awal pekan ini, Uni Eropa justru menyatakan tidak siap
mengadopsi sistem itu sesuai perjanjian.
Sikap
Uni Eropa memunculkan berbagai spekulasi terkait masa depan ekspor kayu yang
diperkirakan bakal terganggu. Kementerian Perdagangan melihat, perdagangan kayu
tidak akan terpengaruh isu tersebut.
Wakil
Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi meyakini, ekspor kayu ke negara di
kawasan Eropa bakal berlangsung seperti sebelum SIVLK diterapkan.
"Kalau
Uni Eropa mengaku tidak siap, berarti mereka tidak mensyaratkan ada sertifikasi
kayu legal. Jadi kalo sampai mereka nantinya menolak kayu kita, pemerintah akan
mempertanyakan. Sudah ada sistem sertifikasi seperti yang mereka minta, kok
sekarang mereka mengatakan tidak siap. Masalahnya ada di mereka, bukan
kita," ujarnya saat ditemui di Gedung Kemendag, Jumat (28/9).
Hasil
kajian Kemendag, ketidaksiapan Uni Eropa disebabkan aturan imigrasi yang harus
dikaji seluruh anggota organisasi pemerintahan di Benua Biru itu.
"Dari
indikasi awal, (Uni Eropa) tidak siap mengadopsi SIVLK itu karena ada dokumen
yang harus disetujui bea cukai 27 negara, jadi mereka butuh waktu," ujar
Bayu.
Aturan
mengenai sertifikasi bakal diterapkan pada perusahaan yang mengekspor kayu
gelondongan. Aturan ini dibutuhkan untuk menutup kemungkinan perusakan hutan
lindung.
Rencananya
bakal ada subsidi bagi pengusaha kecil untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
Sementara untuk pengusaha yang hanya memasok pasar domestik, cukup dengan
sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
Saat
ini baru Jerman, Turki, Belanda, dan Belgia yang siap memberikan sertifikat
legal kepada kayu yang sudah memiliki SIVLK. Kemenhut menunda penerapan
sertifikasi itu sampai batas waktu belum ditentukan.
Sumber : merdeka.com