Ekspor kayu ke Uni Eropa tak terganggu isu sertifikasi

29 September 2012



Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, sejak bulan lalu telah menyiapkan Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu (SIVLK) sesuai perjanjian Asean-Uni Eropa awal tahun ini. Awal pekan ini, Uni Eropa justru menyatakan tidak siap mengadopsi sistem itu sesuai perjanjian. 


Sikap Uni Eropa memunculkan berbagai spekulasi terkait masa depan ekspor kayu yang diperkirakan bakal terganggu. Kementerian Perdagangan melihat, perdagangan kayu tidak akan terpengaruh isu tersebut. 

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi meyakini, ekspor kayu ke negara di kawasan Eropa bakal berlangsung seperti sebelum SIVLK diterapkan. 

"Kalau Uni Eropa mengaku tidak siap, berarti mereka tidak mensyaratkan ada sertifikasi kayu legal. Jadi kalo sampai mereka nantinya menolak kayu kita, pemerintah akan mempertanyakan. Sudah ada sistem sertifikasi seperti yang mereka minta, kok sekarang mereka mengatakan tidak siap. Masalahnya ada di mereka, bukan kita," ujarnya saat ditemui di Gedung Kemendag, Jumat (28/9). 

Hasil kajian Kemendag, ketidaksiapan Uni Eropa disebabkan aturan imigrasi yang harus dikaji seluruh anggota organisasi pemerintahan di Benua Biru itu. 

"Dari indikasi awal, (Uni Eropa) tidak siap mengadopsi SIVLK itu karena ada dokumen yang harus disetujui bea cukai 27 negara, jadi mereka butuh waktu," ujar Bayu. 

Aturan mengenai sertifikasi bakal diterapkan pada perusahaan yang mengekspor kayu gelondongan. Aturan ini dibutuhkan untuk menutup kemungkinan perusakan hutan lindung. 

Rencananya bakal ada subsidi bagi pengusaha kecil untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Sementara untuk pengusaha yang hanya memasok pasar domestik, cukup dengan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). 

Saat ini baru Jerman, Turki, Belanda, dan Belgia yang siap memberikan sertifikat legal kepada kayu yang sudah memiliki SIVLK. Kemenhut menunda penerapan sertifikasi itu sampai batas waktu belum ditentukan.

Sumber : merdeka.com