Perlu adanya Revisi Aturan Standar Legalitas Kayu

30 September 2011

Beberapa kelompok masyarakat sipil pemantau kehutanan mengusulkan perlunya segera merevisi aturan standar pengelolaan hutan produksi lestari dan legalitas kayu. Usulan tersebut dikemukakan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Bogor, 1-3 Juli 2011.

Abu Meridian sebagai dinamisator JPIK mengatakan, sesuai penglaman pemantauan anggota JPIK di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa aturan ini masih menyisakan ruang terjadinya pelanggaran yang mengancam upaya perbaikan tata kelola kehutanan di negara ini.

Sesuai siaran pers JPIK,  pengalaman pemantauan pada beberapa wilayah di Indonesia, JPIK menemukan sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan standar penilaian kinerja PHPL dan VLK. Salah satu hal yang mengemuka adalah kurangnya upaya sosialisasi dan transparansi informasi mengenai standar tersebut pada instansi pemerintah di daerah dan masyarakat.

Sejak dicanangkannya perang terhadap praktek pembalakan liar di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mengatur tata kelola di sektor kehutanan. Salah satu peraturan yang terkait dengan upaya tersebut adalah Permenhut Nomor 38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) pada Pemegang Izin atau Hutan Hak.

Untuk memastikan efektifitas pelaksanaan aturan tersebut sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam JPIK secara aktif melakukan kegiatan pemantauan. JPIK mengkhususkan diri dalam memantau kinerja pemegang izin usaha pengelolaan hutan dan industri perkayuan. JPIK juga aktif melakukan pemantauan atas sistem verifikasi legalitas dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari.

Ahmad Sja dari Yayasan PADI Indonesia, Kalimantan Timur. Mengungkapkan “Jangankan masyarakat sekitar hutan, masih banyak pegawai dinas kehutanan dan instansi terkait lainnya yang masih belum memahami aturan pengelolaan hutan dan legalitas kayu ini”.

Selain keterbukaan informasi, para anggota JPIK juga mendapati sejumlah kelemahan dalam Permenhut Nomor 38/Menhut-II/2009, terutama pada bagian dasar pertimbangan (konsideran), ketiadaan sanksi, cakupan obyek diberlakukannya aturan pada Perum Perhutani, pemberlakuan konsultasi publik pada verifikasi legalitas kayu, serta sistem dan alat penilaian. JPIK menganggap banyaknya kelemahan itu berpeluang membuka ruang pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Dibutuhkan sebuah upaya serius untuk menanganinya dengan cara melakukan perbaikan (revisi) terhadap Permenhut Nomor 38/Menhut-II/2009.