Penerapan SVLK Seharusnya Tidak Pukul Rata

06 Oktober 2011

Penerapan legalitas kayu secara pukul rata dalam suatu aturan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) menjadi mimpi buruk bagi para pengerajin. Terutama para pengrajin kecil seperti di Jepara, Klaten, Yogyakarta, Bali dan daerah-daerah lainnya, termasuk para pengerajin kayu yang memanfaatkan kayu buangan atau sisa. Padahal SVLK merupakan suatu kewajiban agar produk/kerajinan kayu dapat diterima pasar internasional. Walau implementasi SVLK sesuai permenhut no. 38 tahun 2009 masih tahap revisi dan efektif berlaku 2013 mendatang, namun para pengerajin mulai was-was akan nasib mereka.

Mencermati kehawatiran diatas, Yayasan Lingkungan Kehati meminta kepada pemerintah untuk mengkaji kembali penerapan SLVK. Terutama terkait implementasi SVLK pada kawasan hutan rakyat atau perkebunan skala kecil dan pengerajin kayu rumahan. Direktur Eksekutif Kehati M.S. Sembiring berharap penerapan SVLK tidak disamaratakan antara perusahaan dan usaha kecil yang dikelola oleh masyarakat

M.S. Sembiring mengatakan “Kita tentu harus melihat simpul-simpul mana yang bisa dipersingkat, dipermudah dan disederhanakan dan kalau boleh diminimalisasikan biayanya. Mungkin kalau hutan rakyat, prosesnya tidak perlu panjang begitu, diharapkan kalau bisa jangan sampai membebani kepada masyarakat. Lain halnya kalau itu pengusaha besar.”

Sembiring menegaskan pemerintah harus berani membuat suatu trobosan baik dalam bentuk insentif atau subsidi untuk membantu masyarakat kecil mendapatkan SVLK. Hal senada juga disampaikan Ketua Harian Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali Gede Darmaja. Menurut Darmaja, pemberlakuan yang pukul rata hanya akan mematikan usaha kerajinan rumahan terutama kerajinan yang memanfaatkan kayu buangan atau sisa. Darmaja berharap pemberlakuan SVLK untuk kerajinan rumahan dengan kayu sisa atau buangan tidak disamakan dengan industri dalam skala besar. Bahkan seharusnya sertifikasi legalitas diberikan secara gratis.

Darmaja juga mengungkapkan, “Kita usulkan ke pusat, karena tadinya itu kayu tidak terpakai, termasuk akar ini, kita akan usulkan apakah bisa tidak dimasukkan dalam klasifikasi itu, kemudian kalau misalnya bisa mungkin memerlukan perhatian khusus, apakah digratiskan barangkali tetapi sertifikatnya ada, sebetulnya pengerajin Bali yang sebetulnya kelas UKM, sangat sulit untuk melakukan sendiri.

Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya yang menilai penerapan SVLK ini rawan terhadap pungutan liar (pungli). Mengingat cenderung berbelit-belitnya sistem birokrasi di Indonesia dari tingkat desa hingga pusat.

Pemerintah harus berani memastikan tidak ada pungli berjaringan yang muncul dalam penerapan kebijakan SVLK. Sebab jika pungli terjadi maka usaha masyarakat akan mengalami kebangkrutan, apalagi usaha kerajinan kayu buangan atau sisa yang ada di Bali, demikian dikatakan Arjaya.

Arjaya juga menambahkan “Maksudnya begini, tetap harus diatur cuma jangan sampai ada pungutan yang berlebihan, ini akan membunuh kreativitas masyarakat, penguasa kita kan kebanyakan dari pengusaha, dari mana mendapatkan duit dan menguntungkan mereka kan itu yang mereka lakukan”. Arjaya berharap pemerintah tidak hanya membuat kebijakan atau aturan tetapi juga melakukan evaluasi dan pengawasan hingga ke tingkat bawah.

Sedangkan Pemerintah propinsi Bali mempertimbangkan untuk menggratiskan sertifikasi legalitas kayu khusus kerajinan berbahan dasar kayu buangan atau sisa. Rencana kebijakan tersebut untuk membantu para pengerajin berbahan dasar kayu buangan atau sisa di Bali. Apalagi pemanfaatan kayu buangan atau sisa oleh pengerajin telah membantu upaya pengurangan sampah di Bali.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan sudah menjadi tuntutan dunia bahwa semua produk berbahan kayu menunjukkan legalitasnya dalam bentuk system verifikasi legalitas kayu (SVLK). Namun para pengerajin kecil harus dibantu melalui suatu terobosan sehingga para pengerajin tersebut tetap bisa berkreatifitas dan produk yang dihasilkan juga tetap legal.

Mangku Pastika menjelaskan, “Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban pengrajin itu, bahkan pemerintah bisa membantu baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, jadi jangan dulu kita mengatakan ini tidak perlu, karena dengan demikian kita berarti melegalkan atau menghidupkan suatu kegiatan yang illegal, tentu saja itu tidak menguntungkan bagi pergaulan kita di dunia internasional”.

“Sudah menjadi kewajiban dari pemerintah untuk memastikan bahwa kerajinan dari kayu buangan tersebut memang benar-benar kayu buangan yang dimanfaatkan sehingga sudah seharusnya sertifikasinya digratiskan”, demikian Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan.

Sekitar 74 ribu unit usaha kerajinan rumahan di Bali dan hampir 30 ribu unit usaha merupakan unit usaha berbasis bahan dasar dari kayu. Data ini berdasarkan data Dekranasda Bali.

Ini baru yang ada di Bali, bagaimana dengan pengrajin yang ada didaerah lain terutama di Jepara yang juga terdapat ratusan pengrajin kecil menggeluti usaha dengan bahan dasar kayu?